Terdamparnya armada kapal Roma di Goa kemudian mempertemukan mereka dengan Merong Mahawangsa (Stephen Rahman-Hughes), pelaut tangguh yang melanglang buana sambil mencari uang lewat peratrungan jalanan. Diimingi hadiah kapal untuk melebarkan eksplorasinya, Merong akhirnya setuju mendampingi Marcus menuju kerajaan Cina, dimana mereka disambut oleh Admiral Liu Yun (Craig Robert Fong). Putri Li Hua yangang hendak melarikan diri bersama pelayannya kemudian terjebak di penyerangan suku bajaklaut mistis Garuda pimpinan Taji (Wan Hanafi Su) beserta algojonya, Kamawas (Khir Rahman) dan diculik. Sementara Merong yang terluka dirawat suku lokal dengan kepalanya Kesum (Dato Rahim Razali) beserta perawat Embok (Ummi Nazeera), dan menemukan rahasia masalalunya atas perseteruan awal Kesum dan Taji di daerah itu. Digembleng oleh Kesum, Merong akhirnya kembali bersama Liu Yun dan Marcus untuk menyelamatkan Li Hua sekaligus menghadapi Taji beserta armadanya.
Film Hikayat Merong Mahawangsa adalah sesuatu yang menarik untuk menelusuri sebuah legenda, walaupun bukan dari bangsa sendiri. Apalagi yang diangkat dari literatur-literatur kuno, dan lebih menarik lagi bila ternyata ada hubungan tak langsung dari literatur dan sejarah-sejarah itu yang menceritakan sejauh mana manusia-manusia dahulu kala itu mengembara dari satu belahan dunia ke belahan dunia lain. ‘Hikayat Merong Mahawangsa’, adalah salah satu hikayat yang sudah melegenda lintas generasi di negara tetangga kita, Malaysia. Termuat dalam ‘Kedah Annals’, literatur Tamil kuno tentang berdirinya Kedah dari sebutan lamanya, kerajaan Langkasuka (if you did watch a Thai movie, ‘Queen Of Langkasuka’, ini juga sedikit banyak menyinggung sejarah panjang itu dalam timeline yang berbeda). Pendiri dan raja pertamanya, Merong Mahawangsa, dipercaya memiliki garis keturunan dari Iskandar Agung (Alexander The Great), beragama Hindu, jauh sebelum budaya Islam masuk ke ranah mereka. Jadi tak usah heran ketika literatur-literatur sejarah itu ‘bump into each others’. Sama seperti Pandawa Lima yang dipercaya bangsa kita berdarah Indonesia namun juga terdapat dalam sejarah India, Merong Mahawangsa juga digambarkan dalam literatur itu bergaris keturunan India. Dan atas penggambaran timeline-nya di era 120 SM, sejarah itu memang memuat invasi Roma ke India dan Asia, bersama kerajaan Cina kuno dalam hikayatnya.
Now let’s talk about the production. KRU Films/Studios dengan pentolannya dari tiga bersaudara Abdul Halim, Yusry, yang punya nama besar dan mengawali sepak terjang mereka dari boyband KRU, sebelum Yusry menjadi aktor dan akhirnya sutradara, pada dasarnya bukanlah sineas yang idealis dalam artian art. Film-film KRU sebelumnya juga masih berkutat di tema-tema Pop Culture yang jauh dari jangkauan artful. Namun ambisinya mengantarkan KRU pada sebuah inovasi sinematis yang cukup menggebrak sinema Malaysia, dalam tema dan efek spesial lewat dwilogi ‘Cicak-Man’ tempo hari. Walau banyak dicerca sebagai karya main-main, sulit untuk menampik kekuatan set dan effort awal efek spesial yang ditempuh Yusry bersama tenaga luar di franchise itu. KRU Production pun semakin melebarkan sayap mereka merambah dunia merchandise lain termasuk komik superhero-nya., dan sempat pula bekerjasama dengan sebuah movie company di Amerika memproduksi ‘Deadline’ (Britanny Murphy & Thora Birch) dimana Yusry duduk sebagai visual effects director.
Hikayat Merong Mahawangsa yang dibandrol judul internasional ‘The Malay Chronicles:Bloodlines’ dengan narasi berbahasa Inggris ini juga sudah sukses dijual ke peredaran internasionalnya ke Inggris, Jerman, dan sejumlah negara Timur Tengah. Asia termasuk Indonesia pun sudah masuk dalam agenda mereka. Dan tak main-main, inilah produksi film termahal kedua milik negara tetangga itu, dengan biaya RM 8 juta. Resepsinya pada peredaran Maret lalu cukup memancing reaksi beragam. Sebagian menganggapnya tak lebih dari film sampah, sementara pujian juga sama banyaknya berdatangan. In fact, Yusry memang masih terpatok di pandangan film sebagai sebuah industri komersil, dan begitu juga film ini. Namun ada konsep jelas dan usaha lain pada gebrakan-gebrakan baru yang seperti biasa menjadi ciri khas mereka. Selain di penggunaan CGI yang makin besar, aktor-aktor dan krunya juga merupakan paduan lintas ras. Pemeran Merong sendiri adalah aktor Inggris berdarah Malaysia yang pernah berperan sebagai Hang Tuah dalam ‘Putri Gunung Ledang’ versi musikal, Stephen Rahman-Hughes. Ada pula dua nama berbau Indonesia di kreditnya yang mungkin menarik perhatian anda, Archie Nasution di music supervisor dan Wiryandi Widjaya sebagai special effects supervisor. While Archie memang sejak awal jadi bagian KRU Production sebagai komposer, Wiryandi sayangnya tak banyak meninggalkan jejak kecuali beberapa karya iklan Indonesia yang mencatat namanya pada banyak search engine.
Seperti ‘Troy’ yang juga berasal dari literatur kuno namun hadir sebagai tontonan pop, Yusry juga agaknya tak mau berserius-serius dengan gelaran sejarah yang detil untuk membangun plotnya. Ia lebih memilih menghadirkan hikayat ini seolah sebuah adventure fairytale penuh aksi dengan sajian efek CGI di banyak part-nya. Sayangnya, awal yang mulus mengalir dengan bangunan konsep jelas seperti film-film pirates adventure atau swords and sandals era 50an ala ‘Steve Reeves’ atau film-film ‘Sinbad’ yang juga child-friendly tanpa darah, mulai berjalan tak konsisten menuju tingkatan masa putarnya. Yusry seakan tergoda untuk memasukkan banyak unsur Hollywood modern seperti ‘Pirates Of The Caribbean’ namun terlihat bingung buat mencampuraduknya dengan adegan peperangan kolosal genre sejenis. Sesekali kita bisa melihat muncratan darah, kesadisan dari mayat-mayat bergelimpangan namun tak diikuti dengan koreografi aksi yang intens. Sebagian dialognya juga mengalir kelewat pop untuk ukuran sebuah hikayat sejarah. Belum lagi narasi over porsi yang terlalu diberat-beratkan sehingga jadi membosankan itu. Okelah, dalam standar film Malaysia, atau katakanlah, Asia, ini adalah suatu usaha yang mungkin patut diacungi jempol. Set-set tanah peradaban kuno serta laut lepasnya tampil menawan, adegan perang yang melibatkan ratusan figuran itu juga terlihat cukup kolosal bersama paduan CGI ke latar armada kapal, serbuan anak panah atau deburan awan. Scorenya yang menampilkan Malaysian Philharmonic Orchestra, meski bagi sebagian kedengaran terlalu ‘Pirates Of The Caribbean’ itu pun tampil megah bersama karakter-karakter lintas ras yang dihadirkan dengan sangat menarik.
Namun, di sisi lain, teknik slow motion dan fast forward bergantian yang dihadirkan untuk menunjang koreografi yang sering sekali terkesan lamban, bersama darah-darah yang hanya sesekali diekspos itu justru tampak sangat tidak meyakinkan. Ini mau tak mau membuat dua pentolan utama, Stephen Rahman-Hughes yang sebenarnya punya potensi besar dari postur dan sorot mata tajam bersama Khir Rahman yang dimock-up lumayan menyeramkan itu jadi highlight yang tak maksimal, sementara dominasi mereka justru paling dibutuhkan untuk tontonan-tontonan sejenis. Untuk ambisi sebesar tadi, ‘Hikayat Merong Mahawangsa’ jelas masih jauh dari sempurna, tapi sebagai peletak baru standar modernisasi sinema Malaysia, baik dalam tema dan teknik penggarapan, let’s give it a good shot. Ketimbang Indonesia yang majunya masih selangkah demi selangkah karena keengganan produser mengucurkan biaya super, ini adalah usaha menempuh jembatan besar yang tak sekedar main-main, dan kita patut sedikit lebih menghargai itu.
Pokoknya Film Hikayat Merong Mahawangsa ini bisa jadi pilihan kalian untuk ditonton, jujur saja film ini juga saya akui menarik secara pribadi :-)
0 Comments
EmoticonEmoticon